Masa pemerintahan Joko Widodo kini (2016) memasuki masa
pertengahan. Kritik tajam, saran dan masukan yang merupakan cerminan sikap
mengawal pemerintahan terasa melempem, tak deras dan menguap begitu saja.
Publik sibuk mengurusi isu LBGT, Tere
Liye, moral, keagamaan, dan isu lainnya. Isu vital dan strategis seolah susah
naik kepermukaan seperti Indonesia yang terjajah, Kemiskinan, Kepengangguran,
Ketimpangan, Ketergantungan, Kebodohan, Kesehatan,dan Konflik. Ketika isu vital
tersebut tidak ada maka kesempatan menagih janji pemerintah pun terasa seperti
berteriak teriak bak guruh disaat matahari terik. Isu yang disibukan masa-masa
sekarang pun tidak memberikan dampak yang besar pada rakyat jika dibahas. Isu
yang bergulir saat ini dilingkungan masyarakat membuat pemerintahan Joko Widodo
duduk nyaman dan dapat menjalankan program pemerintahan tanpa mengurusi
nada-nada kritik, cacian, makian oleh rakyat atau bahkan yang berkedudukan
sebagai oposisi. Apalagi yang berperan sebagai oposisi kini terlihat semu dan
susah menggantungkan harapan pada oposisi dalam pengawalan kinerja pemerintah.
Memahami Joko Widodo saat ini
seperti mengenal Daendels era modern. Joko Widodo sebagai komprador (perantara)
antara pihak asing dan pihak Indonesia sama hampir mirip Daendeles menjadi
perantara antara pemerintahan Belanda dengan rakyat nusantara (1808-1811).
Perbedaan terletak pada Joko Widodo memiliki tuan-tuan banyak negara sementara
Daendels memiliki tuan negaranya sendiri yakni Belanda. Hal ini terlihat pada
sistem pembangunan infrastruktur pemerintah Indonesia yang sedang digenjot
pemerintah. Pembangunan jalan, kereta api, tol laut, dan sistem transportasi bahkan
pengairan terus dibangun dengan modal asing. Kerja sama ekonomi selalu menuntut
untuk untung antara pemilik modal maupun yang mengelola modal. Kerja sama
ekonomi tersebut menggambarkan posisi Jokowi seperti mandor pembuat
infrastruktur Indonesia dan asing yang akhirnya memiliki keuntungan. Jika
Daendels lebih dikenal karena membangun jalan Anyer-Panarukan (lebih tepatnya
pembangunan dari Buitenzorg-Cisarua) untuk mempermudah distribusi hasil bumi
rakyat Nusantara yang berdampak memudahkan Belanda mengambil keuntungan dari
geliat ekonomi yang meningkat di Jawa. Sama seperti jokowi membangun
infrastruktur Indonesia untuk mempermudah akses dan meningkatkan denyut ekonomi
namun kesiapan kemampuan rakyat membuat keuntungan bisa jadi lebih banyak
dinikmati oleh pemberi hutang.
Analogi sederhana, jika pemerintah
dapat membangun jalan raya maka pengguna mobil dan sepeda motor semakin nyaman.
Disisi lain bangsa Indonesia belum dapat menciptakan mobil dan motor. Sehingga
dapat disimpulkan siapa yang akan menikmati keuntungan lebih. Jika pemerintah
mempermudah akses internet hingga kepelosok desa. Disisi lain bangsa Indonesia
belum mampu memiliki daya cipta dibidang Teknologi komunikasi dan hanya baru
taraf menjadi konsumen. Maka dapat disimpulkan pihak yang menikmati keuntungan.
Jika ada keuntungan dipihak rakyat pun bukan keuntungan dari pangkal kegiatan
ekonomi namun hanya cabang dari kegiatan ekonomi. Keuntungan antar konsumen dan
konsumen yang sama-sama menggunakan perkakas dari asing untuk kegiatan ekonomi
(produksi, konsumsi dan distribusi). Kegiatan ekonomi bangsa ibarat ranting
yang rapuh, hanya sekedar pihak konsumen dan asing adalah batang dari kegiatan
ekonomi yang menopang ranting yang rapuh. Lalu diperparah humus dari pohon
tersebut milik Indonesia namun ketika pohon menghasilkan buah bahkan daun yang
dapat menjadi humus kembali diambil oleh asing tanpa kembali ketanah tempat
pohon itu tumbuh.
Pembangunan jalan oleh Daendels dilaporkan
terlaksana dengan kerja rodi dan menelan korban jiwa. Hampir sama seperti
Jokowi melakukan pembangunan walau tanpa kerja rodi namun berpotensi menelan
korban jiwa. Tidak bisa dilihat secara kasat mata dan masa kini namun bisa
terjadi dimasa yang akan datang bahwa pembangunan masa kini berpotensi menelan
korban jiwa. Tidak bisa menjamin bahwa sistem hutang-piutang akan berjalan
normal dan kondisi Indonesia stabil bahkan lebih maju. Jika kondisi tidak indah
seperti yang dibayangkan dan management
hutang-piutang tidak berjalan baik. Maka beban hutang anak cucu semakin banyak
dan dapat jumlah hutang dapat membuat nilai suatu bangsa tidak bagus dalam
pergaulan ekonomi dunia. Pemerintahan Joko Widodo pun hanya pihak pengutang dan
tukang proyek infrastruktur saja karena bisa dipastikan pemerintah yang akan
datang menjadi pemerintahan yang pusing membayar hutang dan menikmati
infrastruktur atau bahkan infrastruktur yang dibangun tinggal puing-puing sebelum
hutang terlunasi. Dikektorat Jendral Pengelolaan, pembiayaan dan resiko
kementerian keuangan menyatakan bahwa pembayaran hutang Indonesia rata-rata
jatuh tempo rata rata hampir 10 tahun. Jika pun Jokowi terpilih dua kali
periode maka masa jatuh tempo bukan urusan / noda hitam bagi pemerintahan
Jokowi. Apalagi tidak ada jaminan pemerintahan setelah ini dapat melunasi
hutang-hutang dan memiliki sistem management hutang yang baik. Berjudi dengan
apa yang akan terjadi dimasa depan dengan menjanjikan geliat ekonomi meningkat dan
management hutang yang baik seperti
mengumbar sikap optimis berlebihan. Perjudian yang mempengaruhi kehidupan vital
orang banyak terlihat sangat beresiko dan nekat. Proses perjudian tersebut
masih berlangsung saat ini dan hanya bisa menanti apa yang akan terjadi dimasa yang
akan datang.
Tahun 1920 Tan Malaka dalam tulisan
berjudul Semangat Muda menguraikan analisis tentang kondisi ekonomi Indonesia mengatakan
“Adapun
sifat kapitalisme di
jajahan, seperti Indonesia
dan Asia lain, adalah berlainan
sekali dengan kapitalisme
di Belanda dan Eropa lain. Disana lahir dan majunya kapitalisme itu
terbawa oleh keperluan negeri
sendiri, sedangkan di
sini lahir dan majunya
kemodalan itu terbawa
oleh keperluan bangsa
asing. Sebab itu di Eropa majunya kapitalisme itu dengan jalan menurut
alam atau Organisch,
sedangkan di Indonesia
kunstamatig atau bikinan.
Berpadan dengan hal itu, Kapitalisme di Eropa ada sehat dan sempurna,
sedangkan yang di
Indonesia verkracht atau terperkosa, seolah-olah sepokok kayu
yang kenakelindungan.”. Suara dari Tan Malaka yang sudah ada dialam
kubur tersebut masih sangat relevan untuk didengarkan oleh
Joko Widodo. Karena tidaklah mungkin
sebuah kerja sama tidak memiliki transaksi kepentingan walaupun transaksi
tersebut bernilai setara dan itu berarti Joko Widodo sedang mempraktikan
kapitalisme era 1920an di tahun 2016.
Sistem
pembangunan yang dapat terlihat jelas oleh mata dan penghitungan ekonomi yang
dilihat dengan indeks pertumbuhan menggunakan angka membuat kinerja Jokowi
dapat dilihat dengan mudah. Kesuksesan pemerintah dapat dilihat dengan mudah
dimasa yang akan datang. Namun berbicara ekonomi bukan hanya berbicara soal
perubahan angka dan apa yang berdiri kokoh secara fisik namun berbicara tentang
kesejahteraan dan kesetaraan.
Kesenjangan
antara miskin dan kaya di Indonesia cukup jauh dan kesejahteraan menggunakan
banyak aspek seperti kesehatan, ketersediaan pangan dan keamanan yang
menjadikan indikator bangsa ini sejahtera. Sistem kapitalisme yang membawa
kepentingan asing tidak akan membawa cita-cita mementingkan rakyat miskin
mengejar ketertinggalan dibidang ekonomi namun hanya sebatas mengambil
keuntungan yang sebesar-besarnya. Peran negara sebagai pelindung seluruh tumpah
darah rakyat Indonesia dapat digugat dengan mudah jika memahami tidak ada
jaminan rakyat kecil dilindungi dengan
strategi pembangunan ala Jokowi.
Kartu
Indonesia sehat, mempermudah kredit UKM, dan program untuk kemiskinan lainnya
dapat meminalisir dari sistem kapitalisme yang dibuat sendiri oleh kebijakan
Jokowi. Namun jika sistem kapitalisme tersebut dapat dihindari dan dikontrol
oleh penguasa negeri ini, mengapa hal tersebut harus dilakukan? Tidak adakah
jalan lain yang minim resiko dimasa depan.
Pembangunan
ekonomi yang sederhana dan mengena pada akar dengan menyatukan tenaga dan
potensi rakyat yang ada tanpa muluk muluk mencapai target secara ekonomi akan terjadi
jika Jokowi bukanlah daendeles 2016. Nyatanya kini Indonesia tidak dapat
berdaulat modal dan memilih strategi hutang. Lantang suara Ir Soekarno pada
tahun 1957 ketika ia melakukan aksi atas politik kedaulatan modal tidak
terdengar Joko Widodo. Tahun 1960 Soekarno berkata “ Kamu tau, sejak 1932 aku berpidato di depan Landraad soal modal asing
ini? Soal bagaimana perkebunan-perkebunan itu dikuasai mereka, jika Indonesia ini
tidak hanya berhadapan dengan kolonialisme tapi berhadapan dengan modal asing
yang memperbudak bangsa Indonesia, saya INGIN MODAL ASING INI DIHENTIKEN,
DIHANCURLEBURKEN DENGAN KEKUATAN RAKYAT,KEKUATAN BANGSA SENDIRI, BANGSAKU HARUS
BISA MAJU,HARUS BERDAULAT DISEGALA BIDANG….apalagi minyak kita punya, coba kau
susun sebuah regulasi agar bangsa ini merdeka dalam pengelolaan minyal” Terlebih
pembangunan modal mengutamakan infrastruktur fisik dan faktor kemajuan lainnya
tidak begitu gemilang. Pendidikan berjalan ditempat dan tidak ada perubahan
perubahan yang mengakar untuk menyiapkan anak bangsa ini memajukan bangsanya. Anak
bangsa Indonesia hanya menjadi para bayi merah pemilik hutang asing. Kini dapat
dilihat rakyat terus dininabobokan oleh aksi pembangunan yang gemilang kemudian
terlena menikmati pembangunan yang ada dengan kelancaran, kemudahan dan
kemajuan. Apakah ada kesadaran bahwa kenikmatan yang dirasakan adalah hasil
hutang yang belum tentu dapat dibayar?
Bahu
membahulah membayar hutang bangsaku dimasa kini dan masa depan. kita hidup
menjadi alat pembayar hutang. Tiap hari dan tiap detik kita robot pembayar
hutang. Sebuah negara berhutang memang wajar namun tidak mendengarkan petuah
para pahlawan dalam menancapkan dasar ekonomi terlihat menjadi bangsa buta
permanen terhadap sejarah. Masa lalu sampai dimasa kini tak menjadi
pertimbangan. Tapi ya sudah terimalah strategi pemimpin kita dengan plus minusnya.
Rakyat kecil cukup diam! Tanpa negara bisa hidup ! dengan negara yang terus
korupsi saja tetap hidup! Terus membayar hutang pun bisa hidup! Yang ada jika
rakyat kecil tidak maka bangsa ini tidak pernah ada! Negara opo toh ?
BANGUN
INFRASTRUKTUR FISIK DAN DIKENANG SEPERTI KEHEBATAN DAENDELS! BANGUN AYO
BANGUN! PENDIDIKAN SEBAGAI TUNAS KEBAHAGIAAN LUPAKAN.. LUPAKAN!
MENTAL
TERJAJAH! MENTAL BUDAK! CUKUP LAWAN DENGAN JARGO… INDONESIA HEBAT!
Catatan
kecil saja agar ingat hutang dan Jokowi. Hahahhahahahhaha